Translate

Kamis, 03 Mei 2012

Demokrasi Sakit Hati



Seolah menjadi hal yang lumrah ketika sebuah proses suksesi kepemimpinan entah itu pada level kampus, organisasi, hingga yang paling tinggi yakni lingkup kehidupan bernegara melahirkan barisan-barisan sakit hati, yakni golongan orang-orang yang tidak puas terhadap kepemimpinan yang baru. Alasannya pun bermacam-macam mulai dari menyoroti prosesnya yang diangap kotor hingga alasan personil di dalamnya yang tidak kapabel, sehingga roda kepemimpinan yang baru saja terpilih kurang efektif menjalankan tugasnya. Padahal jika saja mau merendah hati dan melepaskan 'arogansi seragam' yang dikenakan, kita akan bisa melihat ada persoalan yang dihadapi sebenarnya jauh lebih besar dan urgen ketimbang berkutat pada urusan 'seragam' saja.
Demokrasi sakit hati itulah yang terjadi, busuknya proses suksesi politiuk atau berbagai macam alasannya membuat kita merasa lebih nyaman hidup terkotak-kotak dengan seragam masing-masing hingga akhirnya kotak-kotak kecil tersebut tidak bisa menghadapi persoalan yang bersifat lebih global. Jika sudah begitu rasanya sia-sia saja slogan
"Berapa Jumlah kita rekan-rekan?"
"SATU!!!"
yang telah kita terima saat pertama kali menjejakkan kaki di almamater ini.
Saya jadi teringat salah satu adegan film Soe Hok Gie yang diperankan Nicholas Saputra, pada suatu adegan para mahasiswa Sastra UI sedang bersidang dan terjadi deadlock, karena masing-masing kelompok eksternal mahasiswa bersikukuh mengirimkan 'utusannya' pada senat Sastra, hingga akhirnya Gie angkat bicara yang kurang lebih isinya sebagai berikut
"Siapa pun yang masuk pada kepengurusan senat ini, bukanlah utusan-utusan dari organisasi-organisasi tersebut, melainkanmereka adalah orang-orang yang terpilih karena dianggap mampu menjalankan tugasnya itu.." Gie melihat persoalan dengan kacamata yang lebih luas, bukan sekedar dari sudut pandang sempit seragam semata.
Persoalan yang kita hadapi sekarang adalah sakit hati karena melihat orang-orang yang berada pada pos-pos kerja kepemimpinan dianggap tidak memiliki kapabilitas, lalu apa yang kita lakukan? Mencela dan mencaci maki meteka melalui gosip-gosip politik? Menggoyang atau bahkan menyabotase roda kepemimpinan yang sedang berjalan? Atau malah dengan cara yang cenderung lebih elegan dengan membuat 'kepemimpinan tandingan' melalui pembentukan kelompok-kelompok? Cara terakhir ini memang terdengar lebih etis dan menumbuhkan daya kompetisi sehingga diharapkan menghasilkan suatu aksi yang positif, namun dalam perkembangannya, ada kalanya kehadiran kelompok-kelompok tersebut membuat kita yang masih muda dan sangat sedikit ini terpecah-pecah ke dalam golongan-golongan yang menjurus pada arogansi dan primordialisme kelompok yang sempit.
Mengapa tidak sedikit pun terbersit di benak untuk bisa mensupport sebuah kepemimpinan dengan cara-cara yang elegan namun tidak perlu terkotak-kotak? Mengapa ide-ide yang kita miliki tidak disalurkan secara legal melalui lembaga-lembaga formal yang sah ketimbang berjalan sendiri-sendiri? Mengapa kita lebih senang 'berkata-kata di belakang' ketimbang berbuat demi sebuah kepentingan yang lebih luas? Mengapa kita lebih merasa nyaman dengan arogansi seragam yang menciptakan dan memecah belah?
Melalui tulisan ini saya berharap agar kita sebagai mahasiswa komunikasi UNAS mau peka dan bergerak bersama dalam menghadapi perpecahan yang secara terselubung telah terjadi pada jurusan kita, tanpa harus masih merasa sakit hati ataupun memandang seragam. Semoga dengan berlapang dada dan mau turut serta dalam tujuan bersama yakni memajukan jurusan. Sebuah visi yang jauh lebih besar yang harus kita wujudkan...
Sekali lagi saya mencoba mengulangi kata-kata kakak-kakak kita saat kita pertama kali menjejakkan kaki di sini
"Berapa jumlah kita rekan-rekan?"
Tidak perlu diucapkan, cukup dijawab di dalam hati...
Wallahu alam bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

suka/bermanfaat..? tuliskan komentar